
TAHFIZ-30 OCTOBER 2009
ARABIC FOR OCCUPATIONAL PURPOSES-2 NOVEMBER 2009
ABBASID AND ANDALUSIAN POETRY TEXTS-10 NOVEMBER 2009
PRINCIPLES OF TEACHING FOREIGN LANGUAGES-15 NOVEMBER 2009
***********************
"Isi hati yang tak mampu diluah dengan kalam"
Kenangan bersama DIJAH, KAK YANI & KAK NISAH.
(Berlatar belakangkan Masjid UIA)
Tampil bersahaja, suka merendah, dan menyejukkan, ceramah-ceramah agamanya di sebuah stasion televisi dan di Masjid Istiqlal, Jakarta, mampu menguras air mata para hadirin. Ia bahkan tak segan-segan mengajak dirinya dan hadirin meneladani bayi dan anak-anak, yang disebutnya bagai “gelas bening, sehingga sebutir debu pun yang menempel padanya bisa terlihat.” Bayi dan anak-anak, katanya “tidak pendendam, rendah hati, dan jujur”.
“Belajarlah dari bayi, yang tak pernah merasa gagal,” katanya dalam bagian ceramahnya berjudul ‘Anak sebagai Lahan Tafakkur’. “Ketika ia belajar berjalan, setiap jatuh ia selalu bangun dan mencoba lagi. Jika ia marah pada temannya, sebentar kemudian akan baikan kembali.” Aa lalu menghubungkannya pertikaian antar sesama saudara di Indonesia, yang tak pernah habis-habisnya memendam dendam.
Aa Gym lahir di Bandung pada 29 Januari 1962, dari pasangan Letkol H. Engkus Kuswara dan Hj. Yeti Rohayati. Meskipun tidak tumbuh di lingkungan pesantren, keluarganya terkenal disiplin dan religius.
Guru agamanya yang pertama adalah adiknya sendiri, Agung Gunmartin, yang cacat, lumpuh, matanya juling, dan telinganya hampir tuli. Yang istimewa, Agung sangat gigih, tetap rajin kuliah dan tak pernah lepas salat wajib dan tahajud. “Meski bernapas saja sulit, dia tetap mendisiplinkan diri untuk ke masjid,” kenangnya. Aa sendiri seorang kakak yang setia, yang rajin menggendong sang adik bila ke masjid dan mendampinginya ketika ke kampus.
Namun lama kelamaan, kesehatan Agung kian memburuk, hingga duduk pun ia sudah tak mampu. Tangannya tidak dapat lagi digerakkan. Namun keadaan itu diterimanya dengan sabar dan tawakkal, tanpa berkeluh-kesah. “Sampai akhirnya dia meninggal di pangkuan saya, ” papar Aa Gym dengan mata berkaca-kaca.
Pada usia 20 tahunan, Gymnastiar berguru pada Ajengan Junaedi dari Garut, Jawa Barat. Dan hanya dalam tiga hari, ia oleh gurunya dinyatakan telah memiliki ilmu laduni – yang memberinya kemampuan memahami sesuatu tanpa melalui proses belajar. Menurut Gym, ia sendiri kurang begitu yakin apakah benar ia telah menguasai ilmu tadi. Namun beberapa guru spiritualnya yang lain juga menyatakan bahwa dia telah dikaruniai ma’rifatullah—‘pengetahuan dari Allah’. Seorang di antaranya KH Khoer Affandi, ulama tasawuf terkenal Jawa Barat yang semasa hidupnya memimpin Pesantren Miftahul Huda, Manonjaya, Tasikmalaya.
“Berkat ilmu itu, saya bisa tiba-tiba tanpa sengaja mengetahui hal-hal baru saat berceramah,” tutur lelaki yang memanggil ‘bos’ kepada lawan bicaranya. Saat materinya dirujuk dengan kitab-kitab tafsir, isinya ternyata tak berbeda.
Pencarian jati diri Aa Gym diwarnai sejumlah peristiwa aneh melalui mimpi, baik yang dialaminya sendiri maupun oleh ibu dan adiknya. Dalam mimpinya, ibunya mendapati Rasulullah sedang mencari seseorang. Sedang adiknya bermimpi melihat Rasulullah mendatangi rumah mereka. Dalam mimpinya sendiri, Aa Gym sempat salat berjamaah bersama Rasulullah dan keempat Sahabat: Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali.
“Saya berdiri di samping Sayidina Ali, sementara Rasulullah bertindak sebagai imam,” paparnya. Dalam mimpi sebelumnya, ia merasa didatangi seorang tua berjubah putih bersih, yang mencuci mukanya dengan ekor bulu merak bersaput madu. Dia lalu mengatakan Aa Gym insyaallah akan menjadi orang yang mulia, kelak. Setelah mimpi-mimpi itu, Gymnastiar mulai berguru pada beberapa ulama.
Sebagai kiai, Aa Gym tahu sekali bahwa lebih baik memberi daripada menerima. Maka lelaki yang sejak SMA berjiwa wirausaha ini merintis pembentukan Keluarga Mahasiswa Islam Wiraswasta (KMIW) pada 1987. KMIW membuat dan menjajakan stiker, kaos oblong, gantungan kunci, dan alat tulis menulis yang dibubuhi slogan-slogan religius.
Pada 1990, ia mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Daarut Tauhid (DT). Pendirian DT terilhami gerakan Al-Arqam di Malaysia, yang berhasil secara mandiri memenuhi kebutuhan sehari-hari secara Islami. Beberapa waktu kemudian, DT pindah lokasi ke Jalan Gegerkalong Girang 67. Di lokasi rumah pondokan berkamar 20 buah itu, ia menyewa dua kamar. Di sana ia sering mendapat tantangan berat, karena lokasi itu dikenal sebagai markas “biang kerok” keresahan masyarakat. Toh ia kemudian berhasil mengontrak seluruh kamar yang ada, dan bahkan mampu membeli kepemilikannya seharga Rp 100 juta.
Sumber: Muballigh.com
" eh? mane purdah? "
Itu merupakan soalan-soalan yang perlu saya jawab ketika menghadiri majlis alumni SMABT pada 7 Syawal 1430H.
Bukan maksud saya untuk tidak istiqamah. Malah, sebelum terhijabnya wajah, saya sentiasa berharap dan bertekad moga diistiqamahkan hati ini.
Ikuti hikayati……barulah anda akan faham. Mengapa saya tidak istiqamah berpurdah jika di johor…
*************************************************
HALANGAN
Sejak menuntut ilmu di Maahad Johor lagi, hati saya sudah tergerak dan terdorong untuk menghijab wajah. Tapi, mak melarang.
" Kalau belajar kat Mesir nanti boleh pakai....Tapi kalau belajar U tempatan tak payah…."
Itu jawapan mak saya setiap kali saya mengutarakan hasrat untuk berpurdah.
Urusan menyambung pengajian ke Mesir sudah 70%. Ketika itu, keputusan permohonan di unversiti tempatan diumumkan.
" SALWIYA ABDULLAH 860128-01-____ : PSIKOLOGI IIUM "
Semestinya ini berita gembira untuk keluarga. Terutamanya mak. Doa mak sentiasa makbul.
Gembira bagi keluarga, ada sekelumit rasa sedih pada saya. Ini bermakna, hasrat untuk memakai purdah terbatal serta merta. Kembali kepada syarat ibu...."kalau belajar kat mesir nanti boleh pakai....."
***************************************************
KEIZINAN BERSYARAT
Masuk UIA... Awal tahun pertama, ketika itu saya di pusat bahasa... niat untuk berpurdah tak pernah terpisah dalam hati saya.Cuma bila asyik dihalang, lama-lama niat itu menyepi sendiri. Namun, keinginan melonjak-lonjak semula bila ada beberapa perkara yang berlaku pada diri saya di sini.Sejak itu, saya banyakkan lagi pengetahuan tentang "hijab" .
Tekad saya sudah bulat, hanya niat berubah sedikit. Sebelum ini, niat untuk berpurdah lebih kepada "Untuk mendapatkan REDHA ALLAH semata"....tapi kini........ "Disamping mendapatkan REDHA ALLAH....ini untuk keselamatan saya". Itu yang terdetik di hati.
Saya
"Tak payah!"
Itu jawapan mak saya.
Hampa.Sedih.
Pulang bercuti akhir semester 2 2005/2006. Dengan doa yang tak pernah putus, saya
Hati kecil saya selalu berkata.....
" Mak....takde apa yang ude dapat beri pada mak.Ude tak de harta nak bagi. Hanya dapat buat amal kebajikan selagi termampu. Dan jika amal ini diterima dan mendapat pahala disisiNYA, segala ganjaran tu ude niatkan untuk mak dan bapa. Berilah peluang untuk kali ini sahaja....."
ALLAH memakbulkan doa saya. ALHAMDULILLAH, mak izinkan. Hanya ALLAH yang tahu bagaimana perasaan ketika itu. Bahagianya hati bila sesuatu yang saya lakukan mendapat restu dari mak...Hati berbunga- Sujud syukur, pujian untukNYA atas segala nikmat indah yang diber......
Namun, izin mak bersyarat……
" Tapi ingat...kat KL je boleh.....kat sini (johor) tak payah........."
itulah syarat dari mak saya.
Pada mulanya hati kecil saya memberontak. Takkan kat sini tak payah? Macam mana saya nak istiqamah?
*************************************************
AKIBAT LANGGAR SYARAT
Di awal pemakaian purdah, saya tidak mengendahkan syarat mak. Jika keluar dikawasan johor, sebelum keluar rumah saya akan iron purdah siap-siap, dan simpan di tempat yang selamat. Bila jarak dengan rumah agak jauh, cepat-cepat saya pakai...!
Tapi, johor ni bukanlah besar. Mak saya dapat hidu. Saya kena marah. Kali ni kakak juga turut bersuara….Lebih parah bila mak tarik 100% keizinan untuk memakai purdah....
" Kat KL pun tak payah pakai...! "
Saya terkedu bila mak kata begitu. Diam tanpa kata. Hanya air mata pengganti diri. Sebagai luahan betapa sedih dan hibanya hati.
"Tulah sal.....kenapa langgar syarat dr mak....? "
Bisik hati kecil saya
**********************************************************
.................................to be continue
“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”
Kalimat penuntas itu ditujukan kepada seorang lelaki Tsabit bin Ibrahim, yang tidak lain adalah ayah kandung Imam Abu Hanifah –seorang imam dan cendekiawan sepanjang masa– ketika masih muda telah menjadi seorang yang sangat shaleh, jujur dan suka menolong. Ia tidak pernah iri hati pada harta benda milik orang lain. Ia juga berusaha untuk tidak melanggar hak orang lain.
Siang itu udara panas sekali. Seorang anak muda berjalan sendiri, di tengah hutan gersang dengan pepohonan yang jarang. Tampak terseok-seok berjalan. Didera rasa haus dan lapar ia mencoba untuk tetap meneruskan perjalanan. Ternyata di hutan itu ia menemukan sebuah sungai kecil berair cukup jernih.
“Alhamdulillah air ini cukup membantu menghilangkan dahagaku.” Dia berkata dalam hati seraya membasuh mukanya.
Namun setelah air mengalir membasahi kerongkongannya, perutnya pun berteriak minta diisi. Sudah dua hari lebih ia belum makan. Sepanjang melintasi perjalanan tadi, ia belum menemukan makanan apapun. Jangankan hewan liar, pohon yang berbuah pun tak dijumpainya.
Sambil duduk memandangi sungai, ia merenungi perjalanannya, atau lebih tepat pengembaraannya. Telah beberapa waktu dilalui hidupnya untuk mengembara melintasi bumi Allah, sekedar mencari pengalaman hidup dan berguru pada mereka yang ditemuinya. Tanpa sadar karena lapar dan kantuk yang mulai menyerang, dilihatnya satu dua benda yang mengapung di sungai kecil itu. Dipandanginya lebih jelas. Ya, itu adalah buah, seperti buah apel karena merah warnanya. Bangkit dari duduknya kemudian mencari sebatang dahan kayu untuk menarik buah itu ke pinggir.
“Alhamdulillah, kalau rezeki tak akan kemana. Bismillahirrahmaanirrahiim….hmm, lezat sekali apel ini. Serasa masih baru dipetik dari pohonnya.” Gumamnya, setelah 3-4 gigitan yang telah ditelan, tiba-tiba anak muda itu berhenti mengunyah apel tersebut.
“Astaghfirullah, buah ini belum diketahui siapa yang empunya, kok sudah aku makan tanpa seijinnya.” Sejenak kemudian mengalir air matanya. Terisak ia.
“Buah ini belum halal bagiku. Duhai perutku maafkan diriku yang telah memberikan sesuatu yang belum jelas kehalalannya padamu.” Terdiam, buah apel yang sudah separuh dimakan itu kemudian ia pandangi, berpikir mencoba mengolah isi hatinya. Sebuah sikap langka untuk sekarang ini.
Saat ini kejujuran begitu sulit ditemui. Kejujuran sudah menjadi barang langka, jangankan untuk mengembalikan atau menghalalkan sepotong apel, uang triliunan rupiah dibawa kabur sambil tidak ada niat untuk mengembalikannya. Atau untuk hal-hal “kecil” seperti menggunakan aset kantor untuk keperluan pribadi, sudahkah kita menghalalkannya?
“Aku harus menemukan sumber dari buah apel ini. Bertemu dengan pemiliknya dan meminta kepadanya untuk mengikhlaskan satu buah apel ini untuk menjadi rezekiku.”
Bergegas ia membereskan perbekalannya dan kemudian berjalan menyusuri sungai kecil itu untuk menemukan sumber buah apel yang dimakannya. Hingga sampailah ia di sebuah kebun kecil di pinggir sungai yang disusurinya itu. Tampak ada beberapa ladang dengan beberapa jenis tanaman lain di dekat situ, juga sebuah gudang kecil. Sejurus kemudian tertahan pandangannya pada sebuah rumah yang sederhana namun cukup asri yang menunjukkan penghuninya adalah orang yang rajin merawatnya. Menujulah ia kesana dengan harap-harap cemas dapat bertemu pemiliknya.
Pemuda Tsabit sesekali membandingkan apel yang ada di tangannya dengan apel yang ada di sekitar kebun itu. Tsabit yakin apel yang ada di tangannya itu berasal dari kebun itu.
“Assalamu’alaikum..”
“Wa alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh..”
Sesosok lelaki paruh baya muncul dari balik pintu.
“Siapakah engkau wahai anak muda?”
“Nama saya Tsabit bin Ibrahim, apakah bapak pemilik rumah ini, juga kebun dan ladang di dekat rumah ini?”
“Betul, sayalah pemiliknya.”
“Apakah kebun apel itu juga milik bapak?”
“Iya, kebun itu milik saya, sekarang sedang berbuah.
“hmm, silakan masuk dan duduk dulu.”
“Begini tuan, saya adalah seorang pengembara, ketika sedang dalam perjalanan, saya menemukan sungai kecil. Disitu kemudian saya temukan beberapa buah apel yang terapung. Karena lapar yang telah begitu mendera , saya ambil dan saya makan. Saya baru sadar bahwa buah ini pasti ada yang punya sebelumnya, hingga kemudian saya mengikuti sungai tadi dan menemukan kebun dan rumah Tuan” lanjutnya sambil memperlihatkan buah apel yang tinggal separuh.”
“Hmm….”, lelaki pemilik rumah itu bergumam pendek.
“Maafkan saya, sudilah kiranya Tuan yang baik hati untuk mengikhlaskan buah apel ini untukku. Tanpa keikhlasan Tuan, niscaya buah apel ini akan menjadi barang haram yang saya makan, dan saya akan menyesalinya seumur hidup saya. Tak terperi rasanya dalam urat nadi saya mengalir darah yang yang disusupi ketidakhalalan. Bagaimana pertanggungjawaban saya terhadap keturunan saya, darah daging saya kelak??” Pemuda ini kembali menyaput air mata yang menggenang..
Pemilik kebun itu adalah seorang yang alim dan shaleh. Ia tahu, dalam pandangan agama tidak ada alasan untuk tidak mengizinkan seseorang makan apel yang ditemukan di pinggir sungai.
Ia merenung, “Saya ingin mengetahui, apakah anak muda ini benar-benar seorang yang ‘alim, yang takut pada Allah karena telah melakukan sesuatu yang ia tidak yakin apakah itu benar atau salah. Atau ia hanya seorang pembual bermuka dua, yang hanya ingin menarik perhatian?” Untuk bisa menjawab pertanyaan itu, akhirnya pemilik kebun apel memutuskan untuk menguji anak muda tersebut.
Setelah beberapa saat pemilik kebun apel berkata dengan roman muka yang masam. “Anak muda, saya tidak bisa begitu mudah memaafkan kamu, saya punya persyaratan untuk itu.” Tiba-tiba ia mendapat ide untuk menguji anak muda ini.
“Baiklah, tapi saya mengajukan persyaratan. Untuk apel yang telah engkau makan, engkau harus membayarnya dengan bekerja di kebunku selama 3 tahun tanpa bayaran. Jadi engkau hanya akan mendapat makanan dan minuman sehari-hari sebagai upah bekerja itu. Dan untuk itu, engkau boleh menempati gudang di sebelah itu sebagai tempat bernaungmu.”
Awalnya Tsabit muda bersiteguh untuk membayar apel itu, tetapi pemilik kebun apel tidak mengizinkannya. Tercekat pemuda itu mendengar ucapan si orang tua. Lama ia terdiam, kacau, kalut, menimbang-nimbang. Akhirnya, setelah menghela nafas sambil beristighfar berkali-kali, ia mengangguk. Tidak ada pilihan lain. Ia harus memperbaiki kesalahannya, agar dimaafkan. Tanpa berpikir panjang lagi segera ia menyetujui persyaratan yang sulit itu. Selama tiga tahun ia bekerja untuk pemilik kebun apel itu.
“Tuan, mungkin sudah ditakdirkan oleh Allah, ini sudah menjadi suratan nasib saya. Kiranya Allah mengetahui apa yang terbaik bagi saya demi halalnya makanan yang masuk ke dalam tubuh saya ini.”
Akhirnya bekerjalah sang anak muda itu di kebun dan ladang lelaki tua. Dengan giat dijalani hidupnya di ladang dan kebun tersebut. Seraya selalu memohon keberkahan dalam lakon hidup yang dijalaninya.
Setelah 3 tahun berjalan, anak muda itu kemudian menemui pemilik kebun.
“Tuan, hari ini hari terakhir saya bekerja disini. Saya telah menyelesaikan janji saya memenuhi permintaan Tuan.”
Pemilik kebun apel sadar, bahwa anak muda ini, yang sedang berdiri di hadapannya, adalah orang yang luar biasa. Anak muda ini telah memikat hatinya dan karenanya ia tidak akan membiarkan anak muda ini pergi begitu saja.
Pemilik kebun apel sejenak kemudian menjawab, “Tunggu dulu anak muda, masa 3 tahun sudah engkau jalani, namun saya belum dapat memaafkan. Persayaratan terakhir adalah engkau harus menikahi putriku semata wayang. Yang perlu engkau ketahui bahwa ia tidak dapat menggerakkan tangannya, tidak bisa berjalan, tidak bisa mendengar dan tidak bisa melihat. Seandainya engkau menerimanya sebagai istri, maka kuikhlaskan buah apel dari kebunku yang engkau makan waktu itu.”
Jujur saja, menikahi seorang wanita cacat, adalah perkara yang sulit. Persyaratan ini sangat berat bagi Tsabit. Tapi hidup dengan mengabaikan suara hati nurani dan ketika kelak meninggal dan akan bertemu dengan Allah, tentunya lebih berat lagi. Tsabit merenung, begitu aneh perannya dalam kehidupan yang bisa terjadi, hanya karena menemukan apel yang sedang menggelinding di tepi sungai, lalu menggigitnya tanpa berpikir panjang. Sambil memandang tanah dengan wajah pucat pasi Tsabit berkata :
“Duhai, ujian apa lagi ini ya Allah, setiap lelaki tentu mengharapkan istri yang sempurna, secantik bidadari, bermata jeli dengan riasan mahkota permaisuri di kepalanya. Tak terbayang betapa berat semua ini.” Pilu doanya dalam hati.
Namun sebagai. “Ya, saya menyetujui persyaratan Tuan, dengan begitu sebaiknya Tuan memaafkan saya.” akhirnya lelaki yang teguh memegang janjinya itu mengangguk. Di dalam setiap ujian, ada hikmah yang semoga dapat meningkatkan ketakwaannya.
Beberapa hari kemudian, Tsabit menikah dengan anak perempuan si pemilik kebun apel secara sederhana. Pada malam harinya, Tsabit pergi menuju kamar pelaminan, dimana mempelai wanita telah menunggunya. Di sana ia melihat seorang muslimah impian yang cantik jelita, yang tersenyum padanya. Tsabit merasa takjub dan terheran-heran:
“Ya Allah, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit bergegas meninggalkan kamar dan dalam sekejab ayah wanita itu datang menghampirinya.
“Maaf, saya telah salah masuk kamar.” Tsabit mencoba menjelaskan dengan wajah tersipu malu.
“Itu bukan kamar yang salah. Ia adalah anak perempuan saya.” jawab si pemilik kebun apel yang sekarang telah menjadi mertuanya.
“Saya sudah menemuinya. Tapi ia bukanlah anak perempuan seperti yang Tuan ceritakan pada saya. Ia sama sekali tidak cacat seperti yang Tuan katakan.”
Mertuanya berkata sambil tersenyum, “Anakku! Anak perempuan saya lumpuh, karena ia sampai saat ini tidak pernah memasuki tempat hiburan manapun, ia buta, karena sampai sekarang tidak pernah memandang laki-laki yang tak dikenalnya, ia juga tuli, karena ia selama ini tak pernah mendengar fitnah dan hanya mematuhi Al Qur’an dan kata-kata Rasululllah Shalallaahu Alaihi wa Sallam.”
Subhanallah sungguh keshalihahan seorang muslimah sejati. Hal Ini juga sudah langka. Saat ini kita begitu sulit menemukan seorang muslimah yang “buta, bisu, tuli, dan lumpuh” dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Mungkin ada, tetapi begitu sulit menemukannya. Mungkin, bagi seorang laki-laki yang menginginkan muslimah seperti ini, setidaknya harus memiliki kejujuran yang dimiliki oleh Tsabit.
Karena alasan itulah sang pemilik kebun mempertimbangkan secara mendalam dan akhirnya mengambil keputusan menyerahkan anak perempuannya kepada Tsabit, karena dia telah yakin bahwa Tsabit pantas mendapinginya. Karena takut pada sari apel yang telah masuk ke dalam perutnya, setuju untuk bekerja selama 3 tahun hanya agar kesalahannya dimaafkan.
“Alhamdulillah, selama hidup saya tidak pernah makan sesuatu atau memberikan sesuatu yang dilarang Allah pada anak saya untuk dimakan. Anak perempuan saya baik dalam segala hal. Kalian adalah pasangan yang serasi. Semoga Allah Subhanahu wa Ta`ala memberkati kalian dan menganugerahkan kalian anak yang shaleh. Saya memberikan kebun apel ini sebagai hadiah pernikahan kalian. Sekarang, pergilah menemui isterimu.”
Begitu mendengar kata-kata itu, Tsabit segera melupakan semua kegundahan di hatinya selama ini dan pergilah ia menuju pasangan hidupnya yang berharga dan sangat dikasihinya. Dari pernikahan ini lahirlah Imam besar Abu Hanifah, yang mengajarkan dasar-dasar Mahzab Hanafi.
Tsabit telah memakan setengah buah apel, terus mencari pemiliknya meskipun harus menempuh perjalanan sehari semalam. Kemudian dia sanggup untuk menikahi anak pemilik kebun meskipun dikatakan bahwa putrinya tersebut buta, tuli, bisu, dan lumpuh. Sungguh semua itu dilakukan Tsabit demi kehalalan sebuah apel. Namun karena ‘kehalalan’ inilah dia beroleh berkah dari Allah.
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi.” (QS. Al Fathir:29)
sumber: DAKWATUNA
Tiada lafaz yang lebih indah, selain berzikir dengan ASMA' ALLAH dan berselawat keatas Rasulullah, khairu khalqillah. Tirai ramadhan hampir ditutup...selagi diberi qudrat, sama-samalah merebut pahala yang berganda di bulan yang penuh maghfirah, rahmat dan barakah ini. Adakalnya diri tetap leka dengan nikmat dunia. Mujur masih ada iman dan akal yang mampu mengawal si rakus yang bernama NAFSU. Walaupun wanita ma'ruf dengan 1 akal dan 9 nafsu, mudah-mudahan diriku mampu menggunakan satu-satunya akal ini agar ia sentiasa a'la daripada musuhnya(nafsu).....
SURATAN ATAU KEBETULAN
Tak tahu mengapa, minggu ni 3 sahabat dari departmant berlainan mengadu kisah cintanya. Walhal, kami tidaklah begitu rapat. Mafi musykilah.....selagi tidak mengganggu waktu-waktu khusus saya, saya sentiasa bersedia untuk menjadi pendengar setia....
KISAH 1
Ketika moreh selepas solat tarawih.
"akak...makanlah kuih ni, jangan malu-malu...."
" terima kasih banyak-banyak... akak bukan tamu, tak perlulah hidang-hidang...nanti kalau akak nak akak ambil sendiri..."
Itu fenomena hiwar yang sering kali berulang antara saya dan ani(bukan nama sebenar) , selaku ajkt dakwah mahallah. Ketika kami asyik menikmati kuih dan syai,tiba-tiba ani bersuara.
"Akak...sedihlah....CINTA SAYA TIDAK KESAMPAIAN......"
"Eh....kenapa ni.....?"
"Saya berkawan dengan seseorang. Saya hormat dia. Saya kagum dengan dia. Dia baik, soleh. Alhafiz. Memang kami berkawan biasa sahaja, tapi kalau saya
"Jangan anggap semua lelaki berkopiah macam tu, hanya segelintir sahaja.
" sungguh ke sya baik kak....? saya tak dapat macam yang akak dapat...akak jagalah elok-elok tau...Kalau saya, saya tak nak pikir lagi pasal lelaki..saya nak jadi macam rabiatuladawiyah....saya harapkan cinta ALLAH je sekarang ni....akak doakanlah saya...."
******************************************
KISAH 2
IIUM SHAHS MOSQUE.
Selesai berwudhu' untuk solat zuhur. Tiba-tiba terserempak dengan kak zu(bukan nama sebenar).
"Sal....lama tak jumpa.apa khabar...?"
"ALHAMDULILLAH...sihat kak.."
"EH....dah walimah ke belum ni? "
"Belum ada rezeki kak..."
"Lamanya...habis bila nak langsung?"
"InsyaALLAH....ada rezki nanti langsung...doakanlah.."
"Sal ada masa tak? akak nak tanya sesuatu lah..."
"Insyaallah ada waktu. kelas saya pukul 3.30pm nanti....nak tanya ape?"
"Malu nak cakap, akak....ada berkawan dengan seseorang. Akak yang taqdim dia...ALHAMDULILLAH jawapannya positif. Yang jadi masalah sekarang ni...akak tak mampu jaga hati. Asyik nak teringat je....terbayang je muka dia. Takutnya akak...Macam mana ni?"
"
"ALHAMDULILLAH sudah....memang kami dah sepakat. Tapi bagi pihak dia, ada maslaah sedikit. dia ada tanggungjawab. Dia kata, paling awal pun boleh langsung aqad 3 tahun dari sekarang...tu paling awal...bayangkanlah...macam mana akak nak tunggu 3 tahun tu? sekarang je pun akak asyik nak terpikir dia je.....ada tak petua nak jaga hati? bagitaulah akak....."
Saya terkedu sebentar...mengimbas kembali antara saat-saat perjuangan dalam hidup saya. Melawan ihsas untuk menjaga hati. Hanya ALLAH dan bakal zauj yang tahu. Jatuh bangun kami memperjuangkan segala-galanya...
*jawapan saya untuk soalan kak zu ketika itu tak dapat saya paparkan disini.SIR.
*********************************************************
KISAH 3
Perjalanan pulang dari bazar ramadhan ke mahallah bersama kak ayu(bukan nama sebenar).
"Sal....tanya sikit boleh...."
"Tanya apa kak..."
"Kalau kita suka seseorang...memang kita dapat tahu dan rasa ke yang dia tu bakal suami kita.....?"
"Soalan akak ni bagi saya agak subjektif....benda berkait dengan ihsas kak..itu terletak dalam hati masing-masing macam mana nak menilai..."
"Habis...macam mana sal boleh terima bakal suami sal tu? Apa yang sal rasa masa terima dia? macam mana buat keputusan?"
" Dia taqdim saya sebelum bertolak ke mesir...Sepanjang berjauhan, saya pikir balik apa ihsas saya pada dia...Saya rasa selesa bila dengan dia, banyak keserasian..bahagia yang saya rasa lain...saya rasa tenang...yang paling penting dia selalu ajak saya untuk lebih dekat dengan ALLAH...Kemudian saya laksanakan usha terakhir, DOA, HAJAT & ISTIKHARAH...sebelum hubungan kami pergi lebih jauh....saya suruh diapun istikharah juga...dia tak bagitau saya jawapan istikharah dia. Tapi selepas 2 tahun,dia balik cuti ke malaysia dan dia tekad untuk merisik saya, itu jawapan yang sudah memadai bagi saya untuk istikharah yang dia buat....WALLAHUA'LAM... eh...jawapan saya dah terkeluar tajuk ke kak....maaf kalau tak da jawapan untuk persoalan akak. tapi itulah proses yang saya lalui berkait dengan hal-hal proses menerima bakal suami ni......kenapa ni kak...akak tengah dirisik orang ke? "
"hihihihi….takdelah...... ...(tersipu-sipu malu...) "
"hmmm....takpelah kalau akak tak nak berterus terang... pesan saya, akak pikirlah elok-elok sebelum buat keputusan. Nak pilih calon suami ni, dengan "rasa" sahaja tak cukup kak...Apa yang penting banyakkan doa dan minta petunjuk dari ALLAH.....saya tak masyi lagi soal ni. Akak
***************************************
Ya Allah, jadikanlah aku seorang Hamlatul Quran yang sejati dan hakiki, sebagai penyejuk mata, penawar hati setiap insan di muka bumi, agar kehadiranku di dunia ini dihargai. Berkatilah aku dengan anugerah kemuliaan yang Kau beri. Sesungguhnya kehidupan di dunia ini sunguh indah tidak terperi dengan alunan ayat-ayat suci yang sentiasa bermain di mulut, di telinga dan di hati. Lantas itu ku pinta dariMu Ya Ilahi, agar di saat-saat akhir hayatku, alunan kalamMu jua yang mengiringi pemergianku..